Ditulis Oleh: Ilham Abdurajak (Pegiat Sosial dan Lingkungan)
HALTIM,kapita.id – Sebuat pertanyaan terbesit di kepala kita semua bagaimana mungkin pejuang lingkungan yang juga sebagai masyarakat adat yang menjaga hutan, sungai, laut, dan tanah air justru diperlakukan sebagai penjahat? Ironi ini terus terjadi di berbagai daerah, khususnya kabupaten halmahera timur, ketika masyarakat adat sangaji maba yang menolak perusakan alam dan memperjuangkan hak dan ulayat adatnya mala dikriminalisasi. Kriminalisasi terhadap 11 masyarakat adat Sangaji Maba menjadi ironi besar dalam perjalanan demokrasi dan penegakan hukum di negeri ini, ditengah jaman yang sudah berkembang pesat, 80 tahun Indonesia merdeka bahkan perayaan HUT Halmahera Timur yang ke-22 masih saja kita menemukan fakta bahwa mereka yang mempertahankan tanah, hutan, dan identitas leluhur justru diperlakukan sebagai penjahat. Padahal, tanah adat bukan hanya ruang ekonomi, tetapi juga ruh kehidupan dan warisan budaya yang tak ternilai. Sementara itu, perusahaan besar, para oligargi yang merusak lingkungan justru lolos dari jerat hukum.
Bahwa dasar dibentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana termaktub didalam prembule UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, kemudia UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) sudah jelas menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara kesatuan republik, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Deklarasi PBB Tentang Hak-hak masyarakat adat (UNDRIP 2007)” Masyarakat adat berhak atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang secara tradisional mereka miliki. Bahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mempertegas dalam Pasal 66: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Hal ini dipertegas dengan putusan Mahkama Konstitusi Nomor 119//PUU-XXIII/2025 dalam pengujian UU Lingkungan hidup tersebut bahwa “setiap pejuang lingkungan termasuk aktivis lingkungan, pelapor, saksi bahkan ahli dalam kasus lingkungan mendapat jaminan perlindungan hukum”
“Artinya, masyarakat yang bersuara menolak tambang, menolak pencemaran sungai, atau menolak perampasan lahan justru sedang menjalankan haknya. Kriminalisasi terhadap mereka bukan hanya salah secara moral, tapi juga bertentangan dengan hukum yang berlaku.”
Ketika Aparat Menjadi Alat !
Kasus demi kasus menunjukkan pola yang sama: masyarakat kecil dipidanakan, perusahaan tetap beroperasi. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat, justru kerap tampil sebagai alat kekuasaan dan kepentingan modal.
Fenomena demostrasi akhir-akhir ini di seantero Indonesia yang berlangsung sejak tanggal 25 Agustus 2025 semakin mencekam. Akumulasi dari kekecewaan masyarakat tergambar jelas akibat dari narasi-narasi dan diksi yang disampaikan oleh pejabat public dan hilangnya moral dan empati dari institusi legislasi dalam mengawal kedaulatan rakyat. Massa aksi semakin bergejolak ketika institusi kepolisian yang seharusnya memegang prinsip pengabdian kepada rakyat, penegakan hukum dan keadilan, perlindungan, pengayom dan pelayan masyarakat justru menjadi tameng kekuasaan dan alat Negara untuk melucuti kekebasan berpendapat masyarakat. Puncaknya pada tanggal 28 agustus 2025, massa aksi yang melakukan demostrasi dan mengepung DPR RI justru berujung tragis dengan tewasnya pengemudi ojok bernama Affan Kurniawan (21) dilintas kendaraan taktis Brimob saat terjadi kericuan demo di pejempongan Jakarta Pusat. Dan kejadian ini memantik amukan massa demonstrasi yang semakin membesar terjadi dimana-mana hingga saat ini. Fenomena ini adalah akibat dari kebijakan-kebijakan public dan proses penegakan hukum yangselama ini tidak berpihak pada rakyat sebagai pemegang kedaulatannya, hilangnya moral dan etika pejabat publik yang berujung pada krisis kepemimpinan dan krisis penegakan hukum di negeri ini.
Pertanyaan yang muncul: untuk siapa negara hadir.? Jika aparat hukum lebih sering mengawal kepentingan korporasi ketimbang mendengar jeritan rakyat, maka kepercayaan publik terhadap keadilan semakin runtuh. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kriminalisasi kerap terjadi ketika masyarakat adat menolak aktivitas perusahaan yang merusak lingkungan. Aparat hukum yang seharusnya melindungi rakyat justru tampil sebagai perpanjangan tangan kepentingan modal. Hukum menjadi alat represi, tajam ke rakyat kecil, namun tumpul ke koorporasi.
Dalam konteks Mayarakat adat Sangaji Maba, kriminalisasi masyarakat adat sangaji maba bermula dari penangkapan yang dilakukan oleh POLDA Maluku Utara pada 27 warga yang sedang melakukan upacara adat di lahan hutan adat Maba sangaji pada 19 mei 2025 silam.
Upacara ini dilakukan sebagai bentuk protes atas adanya aktivitas penambangan nikel yang dilakukan oleh PT. Position dan telah mencemari sungaji dan hutan adat yanga ada. Persoalan ini bukan sekadar persoalan individu yang dijerat hukum, melainkan simbol dari konflik struktural: antara rakyat penjaga tanah adat dengan Negara khususnya aparat hukum dan pemerintah daerah Halmahera timur yang lebih berpihak pada kepentingan investasi dan oligarki.
“Demokrasi sejatinya memberi ruang bagi rakyat untuk bersuara, mengkritik, dan mempertahankan haknya. Namun, kriminalisasi terhadap 11 masyarakat adat Sangaji Maba menunjukkan bahwa demokrasi kita sedang kehilangan arah. Ketika rakyat adat sebagai pejuang lingkungan dibungkam, sesungguhnya negara sedang merusak legitimasi dirinya sendiri”
*Masyarakat Adat Sangaji Maba, Pejuang Lingkungan Mereka adalah Pahlawan!*
Masyarakat adat sangaji maba adalah Pejuang lingkungan, mereka menjadi garda terdepan yang menjaga masa depan bumi. Mereka tidak mencari keuntungan pribadi Semata, melainkan berjuang agar hutan tetap hijau, sungai sangaji tetap jernih, dan udara tetap bersih. Mereka sadar bahwa bumi bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu yang wajib dijaga oleh generasi.
Mengkriminalisasi mereka sama artinya dengan membunuh semangat generasi muda, generasi Kapita-kapita muda untuk peduli pada lingkungan. Lebih dari itu, kriminalisasi adalah upaya membungkam suara kritis, yang sesungguhnya dibutuhkan sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah.
Kriminalisasi terhadap 11 masyarakat adat sangaji maba yang merupakan pejuang lingkungan harus dihentikan, mereka harus dibebaskan dari jeratan hukum dan dipulihkan nama baiknya. Pemerintah dan aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun institusi kehakiman wajib mematuhi konstitusi dan melindungi rakyat yang memperjuangkan haknya. Perusahaan tambang yang terbukti merusak lingkungan harus ditindak tegas, bukan justru dilindungi.
Solidaritas publik harus terus digaungkan. Media massa maupun media sosial, organisasi masyarakat sipil, akademisi, kapita-kapita muda, dan khususnya generasi muda sangaji maba harus terus bersuara bersama. Tekanan publik bisa menjadi kekuatan besar untuk menghentikan ketidakadilan ekologis ini.
Masyarakat adat adalah Pejuang lingkungan bukan kriminal. Mereka adalah pahlawan bumi yang mempertaruhkan tenaga, waktu, bahkan kebebasan demi kelestarian hidup. Negara harus berpihak kepada mereka, bukan kepada koorporasi rakus, para oligarki Jakarta yang bercokol dinegeri ini. Sebab, tanpa lingkungan yang sehat, tak ada masa depan bagi kita semua. Masyarakat adat Sangaji Maba bukanlah kriminal. Mereka adalah penjaga peradaban, pelestari lingkungan, dan benteng terakhir keberlangsungan hidup. Mengkriminalisasi mereka sama saja dengan mengkhianati konstitusi, merampas budaya, dan menggadaikan masa depan negeri ini.
“Sudah saatnya pemimpin di negeri ini hadir bukan sebagai penindas tetapi sebagai pelindung hak rakyatnya, pembela paling depan bagi rakyatnya. Karena tanpa masyarakat adat, tanpa tanah, dan tanpa lingkungan hidup yang sehat, Halmahera timur bahkan Indonesia akan kehilangan jati dirinya” (Ilham)












